Masjid pertama yang aku lihat di Rusia tahun 2010 |
Sore itu, aku dan
kawan-kawan masih berada IKEA. Meskipun terhitung refreshing alias
jalan-jalan di pusat perbelanjaan, tapi aku tidak bisa menikmatinya. Aku masih
mengharapkan bahwa akan ada saudara muslim yang menemui ku hari ini karena
bagiku mempunyai teman yang “sehati” dan “sepemikiran” adalah penting.
***
Kami sedang menunggu
taksi di area parkir IKEA saat telepon genggam ku bergetar, sebagai pertanda
adanya panggilan masuk. Namun karena batereinya lemah, aku tidak bisa melihat
nama pemanggil. Yang muncul di layar HP hanyalah kata-kata baterei lemah
disertai bunyi peringatan, “tung”.
Karena tidak ingin
battery semakin lemah, akhirnya aku angkat langsung meskipun tak tahu ID
pemanggil.
“Subhan Allah..!”,
alkhamdulillah Ruslan menelpon.
-
“Najib, aku
jam empat berangkat dari rumah, jika kamu sudah sampai asrama, sms aku !”
begitu ucapnya di telepon.
Aku pun menjawab bahwa tidak usah
repot-repot untuk menemui ku (sebagai ungkapan basa-basi meski aku sangat
berharap bisa bertemu orang islam Russia). Namun dia bilang sangat ingin
bertemu dengan ku, paling tidak kami sudah 4 tahun tidak ketemu.
Jam lima aku sudah
sampai di asrama. Aku pun mengabarinya bahwa aku sudah di rumah. Dia bilang
kepadaku untuk menunggu sekitar lima belas menit lagi. Sambil menunggu, aku
sholat dhuhur dan asar dalam satu waktu.
Lebih dari 15 menit,
aku berdiri di samping jendela sambil berharap aku bisa melihat Ruslan. Namun
aku tak melihat siapa pun yang aku kenal. Telepon ku bergetar lagi, Ruslan
menelpon meminta ku untuk turun ke area parkir.
Sambil
berlari kecil, aku keluar asrama, menuju tempat parkiran dimana Ruslan berdiri.
Aku merasa terharu, kami pun salaman dan berpelukan bagaikan saudara yang sudah
lama tidak bertemu.
Udara
bulan oktober saat itu sangat dingin, kami pun lantas masuk mobil untuk sekedar
menghangatkan badan. Ternyata udara dingin lebih kuat, terlebih buat aku yang
baru datang dari negara panas. Meski duduk di dalam mobil, aku tetap merasa
dingin, terutama kaki ku yang tidak memakai kaos kaki.
“Bagaimana
perasaanmu tiba di Russia,” tanya Ruslan.
Sebelum
menjawab, aku menjelskan maksud dan tujuanku secara panjang supaya dia
mengerti. Aku katakan bahwa ini sudah menjadi rencana Allah, dan pasti ada
hikmahnya mengapa aku sampai disini. Aku
katakan bahwa yang membuat ku sedih adalah, sampai saat ini aku belum bertemu
dengan saudara muslim, masjid pun tidak ada. Tanpa terasa nada sedih mulai
mewarnai intonasi suaraku.
“Kalau begitu aku
ajak kamu jalan-jalan, supaya tidak sedih,” tawar Ruslan.
Ya,
kini ada secercah perasaan senang dalam hati. Di awal kedatanganku ke Russia
aku berkomunikasi dengan Ruslan dalam bahasa arab. Hal ini mengingatkanku
dengan kenangan-kenangan kami selama di Mesir. Di mana muslim dari seluruh
penjuru dunia disatukan oleh satu bahasa, yaitu bahasa arab.
Aku sempat menanyakan
kepada nya, kemana dia akan membawa ku. Namun dia tidak menjawab, bagi ku juga
jawabannya saat itu tidak terlalu penting. Aku hanya senang, ketika akhirnya
bisa bertemu dengan saudara muslim.
10 menit kemudian dia
mengarahkan mobilnya menuju suatu tempat yang tertutup pagar kayu. Suasana
mendung musim gugur membuat bangunan itu nampak seram, tak berpenghuni.
Aku bertanya kepada
Ruslan, “kok gerbangnya terkunci?”
“Kalau
terkunci, ya.. kita buka,” jawabnya sambil merogoh saku celana.
Ternyata
benar dia memegang kuncinya. Pintu pun terbuka. Setelah pintu terbuka kami
disambut jalan sempit berkerikil yang mengantarkan kami kepada sebuah bangunan
kecil.
Bangunan tersebut
berukuran kurang lebih 10 meter persegi. Di sekelilingnya masih terdapat
semak-semak belukar. Menurut ku lahan ini baru saja dibuka. Dari fondasi atau
catnya, aku perkirakan bangunan tersebut masih baru. Dan yang membuatku
terkejut, mata ku seolah tak percaya menatap ke bagian atas bangunan tersebut.
Mataku
tak bergerak mengamati atap bangunan berwarna hijau tersebut. Terdapat bagian
yang menjulang lebih tinggi dibanding permukaan atapnya. Bagian tersebut adalah kubbah /
menara.
Menara masjid itu tidak
begitu tinggi. Bagian atasnya dihiasi bintang dan bulan sabit, symbol bahwa
bangunan tersebut adalah masjid.
Dengan
perasaan berkecamuk antara suka, terharu dan syukur yang kuat, aku mengikuti
Ruslan berjalan menuju bangunan tersebut. Kembali Ruslan mengeluarkan kunci
dari sakunya untuk membuka pintu masuk.
Sungguh, nikmat Allah
yang begitu besar bagiku. Ku lihat hamparan karpet dan sajadah serta beberapa
Al-qur’an tersusun rapi di rak yang berdiri di ujung. Aku tak bisa menahan diriku untuk sujud
syukur dan meneteskan air mata tanda haru.
Aku terlarut dalam
sujud syukur ku beberapa saat.
“Mutasyakir awi[1],”
aku ucapkan terima kasih ke Ruslan karena telah membawa ku ke tempat dimana aku
bisa mengadu pada-Nya.
Kemudian dia
menjelaskan bahwa sebenarnya masjid ini berada di ujung jalan asrama dimana aku
tinggal. Masjid ini baru diresmikan dua bulan lalu, dan belum berfungsi aktif,
masjid hanya dibuka untuk sholat jum’at saja.
Selanjutnya,
kami sholat jama’ah magrib di masjid tersebut, hanya dua orang, aku dan Ruslan.
Sungguh, jamaah maghrib pertama yang aku rasakan di Russia. Sungguh nikmat
Allah yang begitu besar. Secercah cahaya telah aku temukan, sebuah rumah
kembali bagi jiwa seorang muslim.
Rasa
hening masih menyelimuti ruangan masjid dimana kami baru saja menyelesaikan
sholat maghrib. Hanya bacaan fatikhah diakhir doa yang terdengar dari mulut
kami. Perasaanku masih terperangah, antara percaya dan tidak percaya.
Akhirnya aku bisa
menemukan masjid yang ternyata tidak jauh dari asramaku. Setelah kami rasa
cukup, Ruslan mengajak ku untuk jalan-jalan.
“Natamasya[2]
?? ” tawar Ruslan.
“Kita akan kemana lagi?” tanyaku.
“Apa kamu sibuk?” dia balik
bertanya kepadaku.
“Tidak, justru aku senang?”
Dalam
perjalanan, Ruslan bilang kalau kita akan bertamu ke rumah salah satu keluarga
muslim keturunan Kazakh. Oh, bahagianya diriku ketika mendengar bahwa
aku akan dikenalkan dengan keluarga muslim di Yekaterinburg.
***
Kami
berhenti di sebuah area parkir. Ruslan sendiri belum tahu apartement mana yang
akan kita tuju. Tidak lama berselang, seorang laki-laki paruh baya, aku taksir
umurnya sekitar 45 tahun, berjalan mendekati mobil kita. -“Ta’al, nakhruj[3]!”
Ruslan memberi kode bahwa kita harus menyambut laki-laki
itu.
-
“Assalaamu’alaikum,” Ruslan berusaha mendahului salam kepada laki- laki itu.
Aku pun kemudian
mengucapkan salam sambil ku ulurkan tangan. Laki-laki tersebut memandang ku
dengan tatapan aneh. Seperti orang yang menerka-nerka, mungkin dalam pikirannya
dia bertanya, apakah kita pernah bertemu seblumnya?
Kami memasuki sebuah rumah rumah yang terletak di lantai lima. Ruslan kemudian mengenalkan ku kepada si empunya rumah. Nah, sekarang aku tahu, bahwa laki-laki ini adalah tuan rumah, namanya Rosul. Aku kemudian memanggilnya Rosul Abai[4].
Kami memasuki sebuah rumah rumah yang terletak di lantai lima. Ruslan kemudian mengenalkan ku kepada si empunya rumah. Nah, sekarang aku tahu, bahwa laki-laki ini adalah tuan rumah, namanya Rosul. Aku kemudian memanggilnya Rosul Abai[4].
Rosul
Abai tinggal bersama ibu, istri dan keluarga Shamil. Shamil adalah anak
tertuanya. Dia sudah menikah memiliki dua anak namanya Sulaiman dan Maryam. Dua
anak yang sangat lucu.
Mereka keluarga muslim
suku Kazakh namun mereka sudah menjadi warga negara Russia. Suku Kazakh
adalah anak turun etnis Turkey yang tinggal di eropa timur atau asia tengah.
Secara fisik mereka mempunyai banyak kesamaan dengan orang Indonesia. Seperti
tinggi badan, kulit yang agak kecoklatan dan mata yang agak sipit. Namun begitu
mereka juga mempunyai husus juga yang bisa dikenali oleh beberapa orang asia
tengah.
Kunjungan
hari itu adalah kunjungan untuk makan malam. Alkhamdulillah aku merasa senang
disambut dengan begitu ramah. Melihat istri dan ibu Rosul abai yang
berjilbab mengingatkan ku kepada bude dan bulik ku di Indonesia.
Setelah
agak malam kami pun berpamitan. Rosul abai mengantarkan kami sampai ke
area parkir. Seperti tradisi umat muslim, kita dianjurkan untuk berpelukan jika
bertemu atau berpisah. Kami pun berpelukan. Rosul abai berpesan kepadaku
untuk datang setiap waktu. Aku merasa senang mendapatkan perlakuan seperti itu.
“Rahmat[5],
semoga Allah membalas kebaikan anda” jawab ku.
Sudah
malam, namun aku tak menyadarinya, mungkin aku bahagia karena merasakan
kehangatan keluarga muslim baru. Kami pun pulang.
***
Aku dan Ruslan sempat
berhenti sebentar di halaman parkir asrama. Ruslan menanyakan tentang bagaimana
urusan administrasi kampus dll. Dia bilang siap membantu jika ada masalah. Aku
hanya bisa berterima kasih kepada Ruslan yang sudah mengantarkan aku ke masjid
dan memperkenalkan ku kepada keluarga muslim.
Sebelum
berpisah dia meminta ku untuk datang ke Oktyabr’ski[6]
besok harinya (Ahad). Aku sendiri tidak tahu dimana Oktyabr’ski, dan bagaimana aku bisa sampai kesana. Ruslan
menjelaskan bahwa nanti akan ada mobil jemputan yang akan berhenti di octanovka tsirk[7]
jam 10.00. Akhirnya kami berpisah. Dan perasaan ku mulai senang, hari itu.
[1]
Terima kasih banyak.
[2]
Jalan-jalan
[3]
Ayo, keluar.
[4]
Abai = panggilan kepada laki-laki yang lebih tua dalam bahasa tatar. Dalam
bahasa Indonesia bisa berari mas atau om.
[5]
Rahmat = terima kasih dalam bahasa Uzbek, Tatar, Kazakh, Kirgiz, Turkmen,
Turkish.
[6]
Sebuah desa berjarak 39 km dari kota Yekaterinburg.
[7]
Ostanovka = Halte , Tsirk = sirkus.
0 Comments:
Posting Komentar