Ruangan solat Pasar Tagansky Ryad |
Pukul
06.30, langit masih gelap. Hawa dingin ditemani angin berusaha menembus
celah-celah jendela kamar yang masih belum sempat aku solasi. Di radio
disiarkan bahwa suhu udara hari itu minus 15 derajat. Orang Russia sangat
bahagia dengan suhu tersebut karna satu minggu sebelumnya mereka ditemani oleh
suhu antara minus 25 sampai minus 27 derajat celcius.
Pukul
7.30, dari jendela kamar kulihat langit masih gelap namun di jalan raya mobil
sudah mulai rame pertanda orang-orang mulai berlari mengejar kehidupan.
Tiba-tiba
telepon aku berdering. Satu panggilan masuk dari nomor yang tidak aku dikenal.
“Assalaamu’alaikum,”
salam pembuka aku ucapkan.
“wa’alaikum
salam, Najib kaifa Khal?”[1]
sang penelepon bertanya tentang kabar
aku.
Sampai kalimat
itu, suara dari seberang sana belum bisa aku kenali. Aku berpikir, mungkin kah
sang penelepon adalah sahabat ku dari Mesir.
Aku
mendengar dari arah seberang, terasa begitu berisik. Aku menanyakan kepada dia,
dari mana dia menelepon. Dan mengapa terdengar begitu berisik. dia menjawab,
dia sedang di tempat Kerja. Aku mulai bingung, siapa yang menelepon pagi-pagi
begini?
“oi
Najibulloh, man ga kelasiz mi?”
[2]
dia kembali bertanya.
Dengan
satu kalimat itu aku akhirnya bisa mengenali siapa yang menelepon. Karna di
Yekaterinburg baru satu orang yang memanggil aku dengan nama tersebut. Dia
adalah Shukhrat, kenalanku yang berasal dari Uzbekistan.
“kayerga?”[3]
Aku balik bertanya.
“Man
Taganski Ryad da[4],
davai ia tebya jdu, mi namaz prochitaem zdest, chai
popiem”[5]
dia mengundang aku ke pasar TR.
“uspeyem
net?” [6] tanya ku.
Ya!
di Yekaterinburg sholat shubuh untuk tanggal 25/1/11 baru bisa dilaksanakan
pukul 07.40 dan matahari terbit pukul 09.00. Aku hawatir waktunya tidak cukup
karena untuk ke Taganski kita aku harus jalan kaki ke halte kemudian menunggu
bis, macet dll.
Alkhamdulillah,
tidak lama menunggu di halte, bisnya langsung datang. Dan seperti yang
khawatirkan, waktu itu adalah jam-jam kerja, transportasi macet, aku khawatir
matahari akan lebih dulu muncul sebelum aku sampai ke Taganski.
Di
tengah perjalanan telpon pun berdering dari Sukhrat Aka[7]
menanyakan sudah sampai di mana aku. Aku katakan padanya kalau kira-kira
waktunya tidak cukup, dia bisa sholat subuh dulu. Tapi dia menjawab bahwa
waktunya masih ada cukup, in sya Allah.
Tiba
di pasar TR pukul 8.15, aku langsung lari menerjang kesibukan para pedagang.
Diantara mereka ada yang sudah menata lapaknya dan ada yang baru saja akan
memulai aktivitasnya.
Shuhrot
menjemputku di depan pusat perbelanjaan Hanoi. Kami berlari berlomba
dengan matahari agar bisa sampai ke musholla lebih dulu.
“Kita
ambil wudhu dulu, setelah itu kita sholat di musholla,”
“ladno,”[8]jawab
ku singkat.
Setelah
wudhu selesai kita berlari lagi menuju musholla.
Aku
sendiri belum tahu dimana musholla tersebut berada. Suasana gelap dan posisi
kami yang berlari menyulitkan ku untuk menghafal rute cara menemukan musholla
tadi.
Dan akhirnya musholla itu kita temukan. Sebuah
bangunan kotak berukuran kira-kira enam meter persegi. Untuk ke musholla itu
kita harus menaiki tangga kecil yang hanya muat satu orang. Anak tangga
tersebut licin karna tertutup salju. Kini aku tahu, musholla tersebut tenyata
bekas gudang barang yang terletak di atas kios-kios pasar.
Aku
baru bisa menyimpulkan setelah selesai sholat. Aku memperhatikan dari luar.
Biasanya pedagang akan menyimpan barang pasokan dagangan diatas kios mereka.
Nah, di antara gudang barang tersebut ada yang difungsikan sebagai musholla.
Shuhrot
menjelaskan, sholat gelombang pertama jamaahnya pasti penuh. Setelah gelombang
pertama selesai langsung gantian gelombang ke dua. Aku mendengar cerita ini
menjadi terharu.
Pejuang
Setelah
sholat kami minum teh bersama. Ditengah pasar. Aku merasa kembali ke masa lalu
aku, dimana aku sering ikut bapak dan ibu berjualan di pasar.
Seketika
saja aku merasakan kekeluargaan yang terjalin antara sesama penghuni kios yang
saling berdempetan. Atau sapaan penjual kopi dan teh keliling yang ramah
menawarkan kopi dan teh panasnya.
Shuhrot
bercerita, bahwa rata-rata pasar buka jam 6. Namun ada yang sudah mulai
beraktifitas dari jam empat pagi. Aku bisa memahami hal tersebut. Karna diwaktu
kecil aku selalu ikut orang tua berjualan di pasar.
Di
pasar, ada saatnya sibuk ada saatnya duduk termangu. Ada pembeli yang tidak
lama menawar ada yang hanya menawar. Hari itu aku melihat semuanya. “Kalau
aku punya uang, aku ingin membelikan ibu kios,” bisikku dalam hati.
Alasan
lain mengapa aku menyukai pasar Taganski adalah, semangat yang dimiliki oleh
para migran tersebut. Mereka mempertaruhkan nyawa dan nasib mereka di negeri
orang. Dengan satu harapan yang mutlak. Keinginan untuk sukses. Keinginan untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Kadang
jika aku merasa kurang bersyukur terhadap apa yang telah aku terima. Taganski
adalah tempat yang bisa menyadarkan untuk bersyukur pada-Nya. Malu dengan
mereka para migran yang sangat gigih menghadapi hidup. Tua muda, laki-laki
perempuan yang selama ini selalu dipandang rendah, sebagai kaum migran. Namun
mereka adalah pejuang.
Para migran
bertaruh meninggalkan tanah kelahiran bukan hanya untuk diri sendiri. Namun
untuk keluarga yang mereka akungi.. Tuhan… jaga mereka. Semua saudara-saudariku
yang berjuang di negri orang. (Selasa, 25 januari 2011)
[1]
Apa kabar?
[2]
Bahasa Uzbekistan : mau datang ke tempat saya ?
[3]
Kemana?
[4]
Saya di Taganski Ryad (Uzbek)
[5]
Ayo mu tunggu kamu, kita sholat berjamaah, habis itu sarapan pagi bareng.
[6]
Keburu atau tidak jika saya solat disana?
[7]
Aka = panggilan untuk menghormati saudara laki-laki yang lebih tua.
[8]
ok
0 Comments:
Posting Komentar