Halal Tour in Russia

BAHASA RUSIA

Senin, 28 Januari 2019

Mengaji ke Oktyabr’ski

Masjid di Oktyabirksi

            Sekitar pukul sepuluh, bis kecil jemputan datang. Kami pun segera menaikinya dan meluncur ke desa Oktyabr’ski. Perjalanan dari Yekaterinburg sampai ke Oktyabr’rski kira-kira memakan waktu satu setengah jam karena ditengah perjalanan mobil harus berhenti di beberapa halte guna menaikkanbeberapa jamaah yang mempunyai tujuan sama.

            Perjalanaan ke desa Oktyabir’ski sungguh menyenangkan karena melewati pemandangan yang menakjubkan. Jika di kota kita hanya melihat apartemen atau gedung-gedung, maka sepanjang perjalanan ke desa kita akan melewati rumah-rumah mungil dan ladang yang sangat luas. Sungguh hijau. Tapi di dalam bis, aku hanya diam saja mengingat aku belum bisa berkomunikasi dan sesekali aku tersenyum jika ada orang yang menatap ku aneh.
            Aku dan rombongan akhirnya sampai ditempat tujuan. Subhan Allah, ini kali ke dua aku melihat bangunan yang dihiasi dengan menara lengkap dengan symbol bulan dan bintangnya. Lelah dan bosan diperjalanan karena tidak bisa berkomunikasi dengan penumpang lainnya akhirnya terbayar dengan pemandangan ini.
Ya! ini rumah-Mu ya Allah,” bisikku dalam hati.
            Rombongan satu persatu keluar dari bis. Ruslan menyambut di depan pintu gerbang. Aku kini tahu, siapa Ruslan sebenarnya.
***
            Desa ini ini sungguh tenang dan adem berbeda sekali dengan kota Yekaterinburg. Oktyabr’ski adalah desa yang sangat sepi. Disini ternyata setiap minggunya diadakan pengajian. Media dimana sesama muslim bisa bertemu, mengaji, sholat dll. Satu hal yang membuat ku terharu adalah jamaah ini, demi untuk mengaji, mereka harus menempuh perjalanan 39 km. Sungguh semangat yang hebat.
            Jama’ah berkumpul di sebuah rumah sederhana yang terdapat di depan masjid. Rumah tersebut difungsikan sebagai kelas mengaji atau madrasah. Disana, selain dapur dan kamar mandi, terdapat kursi, bangku, papan tulis dan segala peralatan yang diperlukan untuk berlangsungnya pembelajaran.
            Ruslan kemudian menyuruhku untuk menyampaikan sambutan dihadapan para jama’ah. Aku terus terang saja menolak karena aku tidak tahu apa yang harus aku sampaikan. Dan bagaimana aku harus berkomunikasi dengan mereka. Aku pertamanya menolak,karna tidak tahu apa yang harus aku katakan.
            Prosto poznokomitsya mojno[1], bujuk Ruslan.  Akhirnya, dengan sedikit percaya diri aku pun bersedia berbicara di depan sekitar lima puluh jama’ah. Aku pikir, kalau hanya untuk perkenalan dengan hanya menyebutkan nama dan asal saja, perbendaharaan kataku sangat cukup lah. Perkenalan selesai dengan sukses meski aku sempat terbata-bata dan kadang dibantu oleh Ruslan dalam pengucapan kata.
            Tanpa disadari Ruslan membuka sesi tanya jawab. Sontak saja aku kaget dan tak habis pikir. Ah! ada-ada saja batin aku. Alhamdulillah, yang bertanya adalah Lilya, seorang gadis muda, dan dengan bahasa Inggris. Dia hanya menanyakan berapa jumlah mahasiswa Indonesia yang ada di Yekaterinburg dan mengapa mereka tidak diajak kesini. Pertanyaan yang mudah bagiku.
            Rupanya jamaah lain tidak berpikiran untuk bertanya kepada ku, mungkin mereka masih takjub melihat mahluk asing dari Indonesia ini. Ya, diantara orang yang ada di tempat tersebut, hanya aku lah yang bermata sipit dan berkulit cokelat, atau hitam bagi mereka. Keberadaan ku memang sedikit mengalihkan perhatian mereka.
            Kemudian Ruslan kembali membuat kejutan. “Insya Allah Najib akan mengajar kita bahasa Arab”.
“Alamak! apa-apaan ini,” batin ku. Mengapa dia idak meminta konfirmasi terlebih dahulu. Bagaimana mungkin aku mengajar bahasa arab sedangkan bahasa pengantar aku belum bisa.
Kupandangi Ruslan dengan tatapan penuh ketidak fahaman. Dia hanya menjawab pandanganku dengan isyarat yang berarti “apa boleh buat ?”.
Aku sempat menolak pernyataan Ruslan, dan ketika aku kembali melihat ke jamaah, ternyata mereka sedang menunggu jawaban, antara apakah aku bersedia atau tidak.
Melihat wajah mereka yang dengan ihlas harus menempuh perjalan jauh hanya untuk mengaji, akhirnya aku menyanggupinya. Selain itu aku melihat bagaimana perjuangan Ruslan yang sangat besar untuk pendidikan islam.
O, iya aku belum menyebutkan, bahwa mayoritas jamaah yang aku ceritakan adalah mereka diatas usia paruh baya. Ruslan dengan sabar mengajari para embah-embah untuk mengaji Al-qur’an atau lebih tepatnya Alif, ba, ta. Aku hanya sedih karena aku tidak bisa membantu banyak, karna keterbatasan bahasa­ku. Seandainya bahasa yang aku miliki sudah bagus aku harus membantunya.


[1] Sekedar perkenalan diri juga boleh.

0 Comments:

Posting Komentar