Masjid di Oktyabirksi |
Sekitar
pukul sepuluh, bis kecil jemputan datang. Kami pun segera menaikinya dan
meluncur ke desa Oktyabr’ski. Perjalanan dari Yekaterinburg sampai ke
Oktyabr’rski kira-kira memakan waktu satu setengah jam karena ditengah
perjalanan mobil harus berhenti di beberapa halte guna menaikkanbeberapa
jamaah yang mempunyai tujuan sama.
Perjalanaan
ke desa Oktyabir’ski sungguh menyenangkan karena melewati pemandangan yang
menakjubkan. Jika di kota kita hanya melihat apartemen atau gedung-gedung, maka
sepanjang perjalanan ke desa kita akan melewati rumah-rumah mungil dan ladang yang
sangat luas. Sungguh hijau. Tapi di dalam bis, aku hanya diam saja mengingat
aku belum bisa berkomunikasi dan sesekali aku tersenyum jika ada orang yang
menatap ku aneh.
Aku
dan rombongan akhirnya sampai ditempat tujuan. Subhan Allah, ini kali ke
dua aku melihat bangunan yang dihiasi dengan menara lengkap dengan symbol bulan
dan bintangnya. Lelah dan bosan diperjalanan karena tidak bisa berkomunikasi
dengan penumpang lainnya akhirnya terbayar dengan pemandangan ini.
“Ya! ini rumah-Mu ya
Allah,” bisikku dalam hati.
Rombongan
satu persatu keluar dari bis. Ruslan menyambut di depan pintu gerbang. Aku kini
tahu, siapa Ruslan sebenarnya.
***
Desa
ini ini sungguh tenang dan adem berbeda sekali dengan kota Yekaterinburg.
Oktyabr’ski adalah desa yang sangat sepi. Disini ternyata setiap minggunya
diadakan pengajian. Media dimana sesama muslim bisa bertemu, mengaji, sholat
dll. Satu hal yang membuat ku terharu adalah jamaah ini, demi untuk mengaji,
mereka harus menempuh perjalanan 39 km. Sungguh semangat yang hebat.
Jama’ah
berkumpul di sebuah rumah sederhana yang terdapat di depan masjid. Rumah
tersebut difungsikan sebagai kelas mengaji atau madrasah. Disana, selain
dapur dan kamar mandi, terdapat kursi, bangku, papan tulis dan segala peralatan
yang diperlukan untuk berlangsungnya pembelajaran.
Ruslan
kemudian menyuruhku untuk menyampaikan sambutan dihadapan para jama’ah. Aku
terus terang saja menolak karena aku tidak tahu apa yang harus aku sampaikan.
Dan bagaimana aku harus berkomunikasi dengan mereka. Aku pertamanya
menolak,karna tidak tahu apa yang harus aku katakan.
“Prosto
poznokomitsya mojno”[1],
bujuk Ruslan. Akhirnya, dengan sedikit
percaya diri aku pun bersedia berbicara di depan sekitar lima puluh jama’ah.
Aku pikir, kalau hanya untuk perkenalan dengan hanya menyebutkan nama dan asal
saja, perbendaharaan kataku sangat cukup lah. Perkenalan selesai dengan sukses
meski aku sempat terbata-bata dan kadang dibantu oleh Ruslan dalam pengucapan
kata.
Tanpa
disadari Ruslan membuka sesi tanya jawab. Sontak saja aku kaget dan tak habis
pikir. Ah! ada-ada saja batin aku. Alhamdulillah, yang bertanya adalah Lilya,
seorang gadis muda, dan dengan bahasa Inggris. Dia hanya menanyakan berapa
jumlah mahasiswa Indonesia yang ada di Yekaterinburg dan mengapa mereka tidak
diajak kesini. Pertanyaan yang mudah bagiku.
Rupanya
jamaah lain tidak berpikiran untuk bertanya kepada ku, mungkin mereka masih
takjub melihat mahluk asing dari Indonesia ini. Ya, diantara orang yang ada di
tempat tersebut, hanya aku lah yang bermata sipit dan berkulit cokelat, atau
hitam bagi mereka. Keberadaan ku memang sedikit mengalihkan perhatian mereka.
Kemudian
Ruslan kembali membuat kejutan. “Insya Allah Najib akan mengajar kita bahasa
Arab”.
“Alamak! apa-apaan ini,”
batin ku. Mengapa dia idak meminta konfirmasi terlebih dahulu. Bagaimana
mungkin aku mengajar bahasa arab sedangkan bahasa pengantar aku belum bisa.
Kupandangi Ruslan
dengan tatapan penuh ketidak fahaman. Dia hanya menjawab pandanganku dengan
isyarat yang berarti “apa boleh buat ?”.
Aku sempat menolak
pernyataan Ruslan, dan ketika aku kembali melihat ke jamaah, ternyata mereka
sedang menunggu jawaban, antara apakah aku bersedia atau tidak.
Melihat wajah mereka
yang dengan ihlas harus menempuh perjalan jauh hanya untuk mengaji, akhirnya
aku menyanggupinya. Selain itu aku melihat bagaimana perjuangan Ruslan yang
sangat besar untuk pendidikan islam.
O, iya aku belum
menyebutkan, bahwa mayoritas jamaah yang aku ceritakan adalah mereka diatas
usia paruh baya. Ruslan dengan sabar mengajari para embah-embah untuk mengaji
Al-qur’an atau lebih tepatnya Alif, ba, ta. Aku hanya sedih karena aku
tidak bisa membantu banyak, karna keterbatasan bahasaku. Seandainya bahasa
yang aku miliki sudah bagus aku harus membantunya.
0 Comments:
Posting Komentar