Taganski Rinok (Pasar Taganski), pukul sepuluh, meskipun
matahari belum keluar dari peraduannya,
namun para pedagang pasar sudah sedari tadi terlihat sibuk bekerja. Para pedagang berdiri di depan
lapaknya masing-masing. Beberapa kuli berlari mengangkut barang dari gudang ke
kios-kios. Beberapa yang lain menyambut
truck container yang mulai memasuki arena pasar. Truck ini membawa barang impor
berupa tekstil, sepatu atau barang produksi lain asal China. Barang-barang made
in China masuk ke Russia melalui perbatasan China – Kirgizstan untuk
selanjutnya didistribusikan ke seluruh penjuru Russia.
***
Aku menelusuri
gang-gang di antara kios-kios. Beberapa penjaga kios menyapa ku, menawarkan
barang dagangan mereka. Namun tidak satu pun dari mereka mampu memberhentikan
ku; karena pikiranku hanya satu, bagaimana menemukan musholla secepat mungkin
untuk sholat subuh.Sudah lima menit aku mencari musholla itu, namun tak juga ku
temukan. Redupnya langit musim dingin siang itu telah membuat ku kesulitan
menemukan tempat sholat yang biasanya. Namun aku yakin, aku tidak salah arah.
“Ah,
jangan-jangan sudah dipindahkan lagi,” pikir ku dalam hati.
Tempat sholat yang ku maksud adalah
ruangan segi empat berukuran 4X6 M2 yang
sudah dua kali dipindah gara-gara pembangunan pasar. Pertama kali aku menemukan
tempat sholat ini, dia berada di tengah-tengah pasar. Kemudian dipindahkan ke
bagian belakang pasar. Dan sekarang, aku tak melihatnya. Aku berdiri sambil
menyakinkan diri bahwa aku berada ditempat yang benar.
“ya, di sinilah tempat musholla itu, namun sekarang di mana ?” Aku gelisah karena waktu subuh semakin sedikit. Kegundahan yang aku rasakan semakin bertambah ketika dari kejauhan ku lihat polisi mendekat ke arah ku. Mungkin dia mendapat laporan dari pihak keamanam bahwa ada orang mondar-mandir di bagian belakang pasar. Aku menjauh sambil mempercepat langkah untuk mengalahkan hembusan angin dingin.
Seorang
pria berjaket tebal berdiri di pojok sebuah kios sepatu. Jemper yang menutupi
kepalanya tak bisa menyembunyikan wajah asia tengahnya. Ku hampiri dia dan ku
tanyakan apakah dia tahu dimana musholla yang ku maksud itu berada.
Dia
menjawab salam yang aku ucapkan kemudian menuntun tanganku dan menunjukkan ku
tempat dimana masjid itu dipindahkan. Semua jelas, Musholla sudah ku temukan.
Ternyata musholla berada di area yang sama, hanya saja jika dulu di lantai dua,
sekarang diturunkan ke lantai satu. Bentuknya yang hanya kotak dan tidak mempunyai ciri husus menyulitkan ku
untuk menemukannya jika tanpa bantuan orang.
Setelah melewati pintu pertama, kita akan menemui pintu ke dua |
***
Begitu
ku buka pintu musholla, dua orang sedang berdiri siap untuk jamaah. Ku tarik
makmumnya kebelakang karena aku ingin bergabung. Selesai sholat Imam memimpin dzikir. Ayat
kursi, tasbih, tahmid, dah tahlil dibacanya secara berurutan. Dibelakangnya,
kami mengikuti dengan suara yang lebih pelan.
Imam mengakhiri dzikir dengan doa. Dan aku pun mundur perlahan.
Iman
dan makmum yang disampingku tadi bergegas meninggalkan ku sendiri. Aku tak tahu
kemana perginya mereka. Mungkinkah mereka kini sedang berdiri kedinginan
menunggu pembeli atau sedang melakukan transaksi-transaksi bisnis lainnya. Aku
tidak tahu pastinya, namun yang jelas mereka sedang berjuang mengadu nasib.
Dua pemuda terakhir
Aku
duduk sendiri menikmati kehangatan yang dihasilkan pemanas ruangan musholla. Ku
pandangi setiap sudut musholla sambil ku taksir ukuran luasnya; 4X6 tidak
lebih.
Terdengar suara kaki di luar. Dua
pemuda masuk, satu dari mereka menatap ku penuh tanda Tanya. Aku merasa tidak
nyaman dengan tatapan penuh curiganya.
“Assalaamu’alaikum…” ucapku
berusaha mencairkan suasana. Dia pun menjawab dengan penuh keheranan. Belum
sempat mengoreksi ku lebih lanjut, satu orang yang lain mengingatkannya untuk
segera melaksanakan sholat karena matahari sudah bersiap untuk unjuk diri.
Mendekati pukul 10.30, dua orang
yang baru selesai Sholat subuh tadi mendekatiku. Aku merasa tidak nyaman. Aku
tahu, mereka akan mengintrogasiku, mengapa aku sendirian di musholla ini, apa
yang aku lakukan di Yekaterinburg dll. Ya, sudah lebih dari sepuluh kali aku
mendapatkan pertanyaan seperti ini dari orang-orang.
Ruang utama Musholla |
***
Pasar
Taganski Ryan adalah salah satu tempat yang sering aku kunjungi. Berbagai
pengalaman aku alami disini. Diantaranya, disebabkan banyaknya pedagang dari
China, banyak orang di pasar ini menyapa ku dengan sapaan “Ni hao ?” Mereka
kira, aku keturunan Sampek – Engtay kali.
Mata ku memang sipit,
tapi sipitnya mata ku jelas tidak seperti sipitnya orang-orang china.
Mungkinkah mereka penggemar film Jackie chan sehingga menyamakan wajahnya
dengan wajah ku yang beraroma oriental kental.
“Ti
Kitaec[1]?”
salah satu dari mereka bertanya kepadaku. Aku hanya diam sambil menggelengkan
kepala.
Terus terang aku tidak mau memboroskan
energiku untuk menjawab pertanyaan yang sama untuk yang ke seratus kalinya.
“Vietnamec..?[2]”
pertanyaan susulan ku terima. Memang, selain pedagang dari China, orang Vietnam
juga banyak, mungkin mereka mengira ku sebagai orang Vietnam karena kulit ku
yang agak gelap.
“Aku dari Indonesia,” jelas ku,
sebelum mereka memaksa untuk mengatakan asal negaraku.
Sepertinya
Negara Indonesia memang tidak begitu terkenal bagi sebagian orang. Hanya
orang-orang yang pernah pergi haji lah yang akan selalu memuja Indonesia
setelah mereka tahu bahwa aku adalah indoneziec (orang Indonesia).
“Banyak sekali orang Indonesia, ramah, mereka memakai pakaian yang sama setiap kelompoknya,
yang wanita kemana-mana selalu dijaga oleh pria …” rentetan kata seperti itulah yang sering
dikatakan kepadaku tentang pengalaman mereka bertemu orang Indonesia di tanah
suci.
Kembali
ke dua pemuda tadi. Mereka belum puas untuk mengetahui siapa aku sebenarnya.
“Kamu Muslim ?” tanya salah satu
dari mereka.
“Alhamdulillah.” jawab ku sambil
berusaha tersenyum agar tidak menyinggung mereka. Bagi mereka, mungkin sangat
aneh ketika melihat orang bermata sipit namun seorang muslim, karena selama ini
mereka hanya tahu sipit non-muslim.
“kamu sholat?” lanjut nya.
“Alhamdulillah…” jawab ku.
Pertanyaan mereka yang terakhir memang benar. Mungkinkah mereka telah belajar
apa itu, islam, iman dan ikhsan atau fenomena yang mengajarkan soalan seperti
itu? Setelah beberapa obrolan kecil, mereka pun meninggalkan ku sendiri.
Kesendirian ini aku manfaat kan untuk mengabadikan beberapa gambar. Mungkin
gambar ini bisa menjelma menjadi sebuah cerita.
***
Waktu pukul 11.00 aku pun harus pergi
menemui seorang teman, dia seorang pedagang di pasar ini.
Yekaterinburg
27-12-12
0 Comments:
Posting Komentar