Road
to Russia
Penerima beasiswa Rusia gelombang ke II saat transit di Doha. |
7 Oktober 2010, dini
hari pukul 00.10 waktu Jakarta, dengan tekat yang terasa berat aku meninggalkan
Indonesia. Dalam penerbangan, berulang kali kembali ku kuatkan niat, bahwa aku
ke Russia hanya untuk mencari ridho-Nya. Masih terngiang pesan ibu sewaktu
melepas kepergian ku di terminal D2 Soekarno-Hatta. “Bismillah, Nang! niati
semuanya untuk ibadah”, ucap ibu seraya memeluk ku sambil berlinang air
mata. Pesawat yang membawa ku bersama rombongan mendarat di Doha sekitar pukul
04.30 waktu setempat. Selanjutnya aku harus menunggu selama empat jam lagi
untuk meneruskan perjalanan ke Moscow.
Pukul 9.30 waktu
setempat, antara percaya dan tidak percaya, aku beserta rombongan meninggalkan
Doha. Bagi ku semuanya terasa mimpi. Aku berpikir bahwa tempat dimana pesawat
yang membawa ku terbang sekarang akan mendarat adalah sebuah medan perjuangan,
medan yang harus aku taklukkan selama tiga tahun, jika semuanya sesuai dengan
rencana.
Jujur, keinginan untuk
pergi ke Russia sudah ada sejak aku merantau di Mesir. Semasa hidup di negeri
para nabi itu, aku dekat dengan beberapa teman dari Russia. Kami sering
menghabiskan waktu bersama baik itu di kantin, masjid, taman asrama, lapangan
dll. Persahabatan dengan muslim Russia lah yang menjadi alasan, mengapa aku ingin
pergi ke negeri yang terkenal dengan suhunya yang sangat ekstrim di saat musim
dingin.
Aku merasa senang bisa
akrab dengan mereka. Kami sering bertukar pikiran dan pengalaman masing-masing.
Diantara cerita mereka, yang aku suka adalah cerita mereka tentang islam dan
kehidupan muslim di Russia.
Terinspirasi dari
cerita-cerita mereka, aku mulai mempunyai bermimpi untuk bisa merasakan
bagaimana hidup sebagai seorang muslim di Russia. Mimpi tersebut kemudian
berusaha aku capai dengan mulai sedikit demi sedikit mempelajari bahasa Russia
di buuts[1]
dengan para mahasiswa Russia atau
pun dari mahasiswa yang berasal dari negara-negara Asia Tengah.
***
Perjalanan Doha –
Moscow menghabiskan waktu sekitar empat jam. Aku lupa pukul berapa tiba di
bandara Demodedovo, Moscow. Saat itu kami di jemput oleh pihak KBRI dan pihak
kementrian pendidikan Russia.
Setelah keluar dari
imigrasi, kami langsung berkumpul untuk mendapatkan briefing dari
perwakilan KBRI dan PERMIRA[2].
Para penjemput mengumpulkan kami untuk memberi tahu tentang mekanisme
perjalanan menuju kota tujuan.
Oh iya, jadi para
mahasiswa penerima beasiswa tersebut tidak semuanya belajar di Moscow. Setelah
mendarat di Moscow, kami berpisah sesuai kota yang sudah ditentukan oleh pihak
kementrian pendidikan Russia.
Kebetulan aku dan satu
teman, Reza Sudarman, ditempatkan di Yekaterinburg, salah satu wilayah Russia
yang berjarak sekitar 1800 km dari Moscow.
Panitia penjemput
menyarankan kepada kami agar segera membeli tiket pesawat untuk melanjutkan
perjalanan ke Yekaterinburg. Alasannya, agar kami tidak kemalaman sampai di
kota terbesar ke 4 di Russia tersebut.
Panitia kemudian
mencarikan informasi tentang harga tiket pesawat ke kota Yekaterinburg. Harga
tiket sekitar 8700 ruble ( + 2,5 juta), untuk satu kilo overweight
dikenakan denda 100 ruble. Jadi kami, harus menukarkan uang sekitar 14000 ruble
(sekitar 5 juta), sekalian untuk persiapan awal kedatangan.
Ya, hal itu menjadi shock
terapi bagi ku. Belum apa-apa aku harus mengeluarkan uang 5 juta dari ATM. Kekurangan
uang adalah momok utama bagi ku karena tekad yang telah aku ikrarkan untuk
tidak menyusahkan orang tua lagi.
Lembaran uang ruble aku serahkan ke
panitia untuk keperluan tiket. Ya, normal sekali ketika aku tiba-tiba merasa
ketakutan. Tabungan ku sisa sedikit. Padahal aku masih tiga tahun lagi hidup di
Russia. Sekuat hati aku memantapkan tekat. Dengan bismillah , aku
berpikir “hadapi dulu apa yang ada”.
Seorang teman, Putu
namanya, mungkin bisa membaca perubahan gesture muka ku. Dia berkata, “yang
sabar ya, Najib”.
“Terima kasih,” balas
ku sambil tersenyum paksa.
0 Comments:
Posting Komentar